Penulis: Ridho Abdillah, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ushuluddin UIM
Di
tengah perjalanan malam, terdapat sebuah rumah yang tidak seberapa
bagusnya, di balik dinding terdengar suara seorang perempuan penjual susu
kepada anak gadisnya, "Campurlah susu ini dengan air!", katanya. Serta
merta sang anak pun menolak seraya bertanya: "Apakah ibu tidak takut
kalau hal ini diketahui khalifah Umar bin Khattab? "Umar tidak
akan tahu", jawab ibunya spontan. Dengan penuh keyakinan gadis itu pun
menimpali, "Kalau pun Umar memang tidak mengetahuinya, apakah berarti
Tuhan yang menciptakan Umar juga tidak mengetahuinya?”. Sang ibu pun
terperanjat lalu terdiam seribu bahasa.
Prolog

Di
sisi bumi yang lain, di bawah remang-remang cahaya rembulan, di samping
dinding rumah penjual susu, berdirilah seseorang yang sedari awal
mendengarkan percakapan itu melalui celah-celah di dinding rumah,
seseorang yang sangat berwibawa, Umar bin Khattab sang khalifah.
Lalu
bergegaslah Umar meninggalkan rumah itu seraya memberikan instruksi
kepada asistennya, "Tandailah rumah ini!". Keesokan harinya ia segera
memanggil Ashim, salah satu anak laki-lakinya seraya bertanya: "Maukah
kamu aku nikahkan dengan seseorang yang sangat baik agamanya?", terbetik
di benaknya anak gadis penjual susu. Tanpa pikir panjang lagi Ashim pun
menjawab dengan penuh keyakinan, "Ya".
Subhanallah!
Pernikahan penuh barakah, dua insan yang sama-sama memiliki keimanan
kokoh mengikrarkan janji lewat seuntai ikatan tali suci. Kelak terlahir
dari keduanya tokoh panutan sejarah yang namanya takkan pernah usang di
telan zaman.
Perjalanan
hidup mencatat seiring bergulirnya waktu tokoh-tokoh panutan dan
teladan yang mengabadikan namanya dalam memori sejarah. Kebesaran nama
mereka diakui di seantero penjuru dunia, dari ujung ke ujung. Ketokohan
mereka dielu-elukan di setiap sudut belahan bumi. Ketenaran mereka
selalu menjadi sumber inspirasi kesuksesan dari generasi ke generasi.
Berbicara
tentang keteladanan, tidaklah ada kisah yang lebih mengagumkan dari
pada kisah yang tercatat dalam sejarah Islam. Dengan tinta emas
terukirlah nama-nama tokoh teladan yang layak dijadikan panutan dalam
meniti hidup ini. Perjalanan hidup mereka terbimbing oleh kesucian
wahyu; Al Qur'an dan Sunnah. Keteladanan mereka terbentuk di bawah
kemuliaan Islam dan kesohoran mereka tergapai berkat naungan Islam.
Merekalah termasuk golongan yang Allah I kisahkan dalam al-Qur'an,
)أُولَئِكَ
الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ
عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ (
Artinya: "Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam
menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan
untuk segala ummat". (QS. Al-An'aam: 90).
Di
antara deretan nama-nama besar itu, tersebutlah nama Umar bin Abdul
Aziz, sang khalifah ke delapan dinasti Bani Umayah. Ketokohannya tidak
diragukan lagi, keteladanannya membuat decak kagum setiap pembaca
biografinya, lebih dari itu nama besarnya selalu digaungkan sebagai ikon
keadilan setelah pendahulunya; Umar bin Khattab. Sungguh pribadi yang
mengagumkan!
1. Biografi Umar bin Abdul Aziz.
a. Nasabnya.
Beliau
adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abu al-'Ash bin
Umayah bin Abdu Syam bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab; salah satu keturunan Bani Umayah, yang tentu saja berdarah Quraisy. Beliau biasa dipanggil dengan sebutan Abu Hafs, sedangkan di kalangan Bani Umayyah beliau lebih dikenal dengan al-Asyaj (si pemilik luka di wajah). Ayahnya; Abdul Aziz -seorang gubernur mesir pada pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan- adalah salah satu kandidiat yang dicalonkan untuk menduduki tampuk kekhalifahan sepeninggal ayahnya; Marwan bin Hakam,
namun ajal keburu menjemputnya. Sedangkan ibunya; Laila bintu Ashim bin
Umar bin Khattab, biasa dipanggil dengan Ummu Ashim. Secara garis
keturunan dari pihak ibu, beliau adalah cicit Umar bin Khattab.
Dikisahkan
ketika Abdul Aziz hendak melamar Laila, ia berkata kepada atasannya,
"Kumpulkanlah untukku empat ratus dinar dari hartaku yang terbaik,
karena aku ingin melamar seorang perempuan dari keluarga baik-baik".
Singkat cerita, akhirnya Abdul Aziz pun menikahi Laila.
b. Kelahirannya.
Beliau dilahirkan tahun 61 H di Madinah pada era pemerintahan khalifah Yazid bin Mu'awiyah, bertepatan dengan meninggalnya Maemunah istri Nabi Muhammad r. Beliau menghabiskan masa kecilnya di Madinah Munawwarah
dengan menimba ilmu dari para ulama yang hidup saat itu. Sehingga
terkumpullah pada diri beliau keutamaan ilmu dan agama, disamping
keturunan 'darah biru' dan gelimpangan materi.
Pasca meninggalnya sang ayah, beliau diminta untuk tinggal di Damaskus oleh khalifah Abdul Malik, paman beliau, lalu dinikahkan dengan salah seorang anaknya; Fatimah.
c. Wafatnya.
Beliau
meninggal dunia hari jum'at di sepuluh hari terakhir bulan Rajab tahun
101 H pada umur 40 tahun, setelah memegang tampuk kekuasaan selama
kurang lebih 2 tahun 5 bulan 4 hari, dikarenakan stroke yang menimpanya.
Ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal dunia karena diracun
para pejabat Bani Umayah. Wallahu A'lam.
Beliau
meninggalkan 3 orang istri: Fatimah bintu Abdul Malik bin Marwan,
Lumais bintu Ali bin Haris, Ummu Utsman bintu Syu'aib bin Zayyan, dan 14
orang anak laki-laki: Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim,
Ishaq, Ya'qub, Bakr, Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zayyan, Abdul Aziz,
Abdullah, serta 3 orang anak perempuan: Ummu Ammar, Aminah, Ummu Abdillah.
Adz-Dzahabi
berkomentar: "Beliau adalah seorang yang berperawakan dan berakhlak
bagus. Memiliki kesempurnaan dalam berpikir, pintar menempatkan diri,
jago lobi politik, menjunjung tinggi nilai keadilan dan berusaha
mengaplikasikannya semaksimal mungkin, luas ilmunya, mumpuni dalam ilmu
psikologi dan diberi kecerdasan luar biasa yang ‘dibungkus’ pemahaman
yang menakjubkan. Di samping itu beliau juga dikenal sebagai ahli
ibadah, memiliki akidah yang lurus, zuhud meskipun memegang tampuk
pemerintahan dan lantang menyuarakan kebenaran meskipun sedikit yang
mendukungnya. Para ulama mengkategorikan beliau sebagai salah satu al-Khulafa' ar-Rasyidun dan ulama yang mengamalkan ilmunya.
2. Kepribadian Umar bin Abdul Aziz.
Umar
bin Abdul Aziz adalah sosok yang berkepribadian kuat, bermental baja,
mampu mencarikan solusi terbaik dari setiap problematika yang ada dan
memiliki analisa yang tajam.
Di antara karakteristik yang dimilikinya:
a. Rasa takut yang tinggi kepada Allah I.
Hal
yang menjadikan Umar bin Abdul Aziz begitu fenomenal bukanlah karena
banyaknya shalat dan puasa yang dikerjakan, tetapi karena rasa takut
yang tinggi kepada Allah dan kerinduan akan surga-Nya. Itulah yang
mendorong beliau menjadi pribadi yang berprestasi dalam segala aspek;
ilmu dan amal.
Dikisahkan
pada suatu hari si Umar kecil menangis tersedu dan hal itu terdengar
oleh ibunya. Lantas ditanyakan apa sebabnya. Beliau pun menjawab: "Aku
teringat mati". Maka sang ibu pun menangis dibuatnya.
Pernah
seorang laki-laki mengunjungi Umar bin Abdul Aziz yang sedang memegang
lentera. "Berilah aku petuah!", Umar membuka perbincangan. Laki-laki itu
pun berujar: "Wahai Amirul Mukminin!!
Jika engkau masuk neraka, orang yang masuk surga tidaklah mungkin bisa
memberimu manfaat. Sebaliknya jika engkau masuk surga, orang yang masuk
neraka juga tidaklah mungkin bisa membahayakanmu". Serta merta Umar bin
Abdul Aziz pun menangis tersedu sehingga lentera yang ada di
genggamannya padam karena derasnya air mata yang membasahi.
Di antara bentuk nyata sikap Wara'
yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz adalah keenganan beliau menggunakan
fasilitas negara untuk keperluan pribadi, meskipun hanya sekedar mencium
bau aroma minyak wangi. Hal itu pernah ditanyakan oleh pembantunya,
"Wahai khalifah! Bukankah itu hanya sekedar bau aroma saja,
tidak lebih?". Beliau pun menjawab: "Bukankah minyak wangi itu diambil
manfaatnya karena bau aromanya?".
Dikisahkan
suatu hari Umar bin Abdul Aziz pernah mengidam-idamkan buah apel.
Tiba-tiba salah seorang kerabatnya datang berkunjung seraya menghadiahi
sekantong buah apel kepada beliau. Lalu ada seseorang yang berujar:
"Wahai Amirul Mukminin Bukankah Nabi r dulu pernah menerima hadiah dan tidak menerima sedekah?". Serta merta beliau pun menimpali, "Hadiah di zaman Nabi r benar-benar murni hadiah, tapi di zaman kita sekarang ini hadiah berarti suap".
c. Zuhud.
Umar
bin Abdul Aziz adalah orang yang sangat zuhud, bahkan kezuhudan yang
dimilikinya tidaklah mungkin bisa dicapai oleh siapa pun setelahnya.
Kezuhudan yang mencapai level tertinggi di saat 'puncak dunia' berada di
genggamannya.
Malik
bin Dinar pernah berkata: "Orang-orang berkomentar mengenaiku, "Malik
bin Dinar adalah orang zuhud." Padahal yang pantas dikatakan orang zuhud
hanyalah Umar bin Abdul Aziz. Dunia mendatanginya namun
ditinggalkannya".
Pernahkan
terbetik di benak kita seorang kepala negara ketika berkeinginan
menunaikan ibadah haji, ia tidak bisa berangkat hanya karena uang
perbekalannya tidak cukup? Pernahkah terlintas di bayangan kita seorang
bangsawan yang hanya memiliki satu buah baju, itu pun berkain kasar? Si
zuhud Umar bin Abdul Aziz pernah mengalaminya!
d. Tawadhu'.
Keluhuran
budi pekerti yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz sangatlah tinggi. Hal
itu tercermin dari sekian banyaknya karakteristik yang menonjol pada
diri beliau. Di antaranya adalah sikap Tawadhu'nya.
Suatu hari ada seorang laki-laki memanggil beliau, "Wahai khalifah
Allah di bumi!" Maka beliau pun berkata kepadanya: "Ketika aku
dilahirkan keluargaku memberiku nama Umar. Lalu ketika aku beranjak
dewasa aku sering dipanggil dengan sebutan Abu Hafs. Kemudian ketika aku
diangkat menjadi kepala negara aku diberi gelar Amirul Mukminin.
Seandainya engkau memanggilku dengan nama, sebutan atau gelar tersebut
aku pasti menjawabnya. Adapun sebutan yang barusan engkau berikan, aku
tidaklah pantas menyandangnya. Sebutan itu hanya pantas diberikan kepada
Nabi Daud u dan orang yang semisalnya", seraya membacakan firman Allah I,
) يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ (
Artinya: "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi". (QS. Shad: 26).
Namun, ada yang lebih mengagumkan lagi! Kisah yang mencerminkan sikap Tawadhu' yang dimilikinya; Kisah Umar bin Abdul Aziz dengan seorang pembantunya.
Pernah suatu
saat Umar bin Abdul Aziz meminta seorang pembantunya untuk
mengipasinya. Maka dengan penuh cekatan sang pembantu segera mengambil
kipas, lalu menggerak-gerakkannya. Semenit, dua menit waktu berlalu,
hingga akhirnya Umar bin Abdul Aziz pun tertidur. Namun, tanpa disadari
ternyata si pembantu juga ikut ketiduran. Waktu terus berlalu, tiba-tiba
Umar bin Abdul Aziz terbangun. Ia mendapati pembantunya tengah tertidur
pulas dengan wajah memerah dan peluh keringat membasahi badan
disebabkan panasnya cuaca. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun mengambil
kipas, lalu membolak-balikkannya mengipasi si pembantu. Dan sang
pembantu itu pun akhirnya terbangun juga, begitu membuka mata ia
mendapati sang majikan tengah mengipasinya tanpa rasa sungkan dan
canggung. Maka dengan gerak reflek yang dimilikinya ia menaruh tangan di
kepala seraya berseru karena malu. Lalu Umar bin Abdul Aziz pun berkata
menenangkannya: "Engkau ini manusia sepertiku! Engkau merasakan panas
sebagaimana aku juga merasakannya. Aku hanya ingin membuatmu nyaman
-dengan kipas ini- sebagaimana engkau membuatku nyaman".
e. Adil.
Di
antara sekian karakteristik yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz, adil
adalah sikap yang paling menonjol. Sikap itulah yang menjadikan nama
beliau begitu familiar di telinga generasi setelahnya hingga hari ini.
Keadilannya selalu digaungkan oleh para pencari keadilan, entah karena
betul-betul ingin menapaktilasi jejaknya ataukah hanya sekedar kamuflase
belaka. Yang terpenting adalah nama besarnya telah mendapat tempat di
hati para penerus perjuangannya. Dan nama itu terukir indah dengan tinta
emas di deretan para pemimpin yang adil, para pemimpin yang terbimbimg
oleh kesucian wahyu; Al Qur'an dan Sunnah, para pemimpin yang dijuluki al-Khulafa' ar-Rasyidun. Dan sejarah Islamlah pengukirnya.
Al-Ajurri menceritakan sikap adil yang dimilikinya, beliau berujar: "Seorang laki-laki Dzimmi dari penduduk Himsh pernah mendatangi Umar bin Abdul Aziz seraya mengadu: "Hai Amirul Mukminin!
Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah". "Apa yang engkau
maksud?", sergah Umar bin Abdul Aziz. "Abbas bin Walid bin Abdul Malik
telah merampas tanahku", lanjutnya -saat itu Abbas sedang duduk di
samping Umar bin Abdul Aziz-. Maka Umar bin Abdul Aziz pun menanyakan
hal itu kepada Abbas, "Apa komentarmu?". "Aku terpaksa melakukan itu
karena mendapat perintah langsung dari ayahku; Walid bin Abdul Malik",
sahut Abbas membela diri. Lalu Umar pun balik bertanya kepada si Dzimmi, "Apa komentarmu?". "Wahai Amirul Mukminin!
Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah", ulang si Dzimmi. Serta
merta Umar bin Abdul Aziz pun berkata: “Hukum Allah lebih berhak untuk
ditegakkan dari pada hukum Walid bin Abdul Malik”, seraya memerintahkan
Abbas untuk mengembalikan tanah yang telah dirampasnya.
Kisah
di atas hanyalah satu dari sekian puluh bahkan ratus sikap adil yang
dimiliki Umar bin Abdul Aziz. Kisah tentang keadilannya begitu mudah di
dapati di buku-buku sejarah yang menulis biografinya. Kisah yang
memenuhi lembar demi lembar buku para sejarawan. Sungguh sebuah kisah,
siapa pun pembacanya pasti akan menggeleng-gelengkan kepala tanda takjub
sambil menyunggingkan rasa masygul tanpa ragu, diiringi air mata bahagia yang turut mengharukan suasana.