Shalat adalah rukun Islam yang kedua dan sangatlah penting. Dari
pentingnya ibadah ini tidak boleh sekali pun ditinggalkan oleh
hamba-hambaNya. Bila ada yang memiliki udzur, maka tetap wajib
mendirikan shalat dengan mengambil rukhshah (keringanan dari Allah) agar
mereka tetap shalat di saat kondisi apa pun. Dan umumnya masalah yang
dihadapi kaum muslimin saat ini adalah shalat dalam keadaan safar
(berpergian). Dan sudah seharusnya kita mengetahui tentang bagaimana
Allah telah memudahkan para musafir yang hendak shalat dengan
menggunakan Jama’ dan Qashar. Berikut adalah uraian yang semoga
mendatangkan manfaat bagi kita mengenai shalat Jama’ dan Qashar bagi
mereka yang memiliki udzur.
Makna dan Hukum Qashar
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (zhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. (Tafsir ath-Thabari 4/244)
Dasar men-qashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para ulama). (Al-Mughni 3/104)
Allah berfirman,
"Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir" ( QS.
An-Nisaa': 101)
Dari
Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab
tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orang-orang
kafir", padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar menjawab: “Aku
sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu dan beliau
menjawab: (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka
terimahlah sedekah Allah tersebut”” (HR. Muslim)
Dari
Ibnu Abbas berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu
shallallahu ‘alaihi wasallam empat raka'at apabila hadhar (mukim) dan
dua raka'at apabila safar" (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud)
Dari
Umar berkata: “Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat Jum'at
adalah dua raka'at dan shalatIed adalah dua raka'at" (HR. Ibnu Majah
dengan sanad shahih, lihat Shahih Ibnu Majah 871)
Dari
Ibnu Umar berkata:Aku menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai
wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar dan beliau tidak pernah menambah
atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar dan beliau
tidak pernah menambah atas duaraka'at sampai wafat, kemudian aku
menemani Utsman dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai
wafat. Dan Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman :Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu."
(Al-Ahzaab : 21) (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata
Anas bin Malik: Kami pergi bersama Rasulullah dari kota Madinah ke kota
Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke
kota Madinah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jarak Shafar yang Dibolehkan Men-qashar
Qashar
hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-,
karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini,
jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila
bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian umumnya. Sebagian
ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo
meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini
tidak berdasarkan dalil sahih yang jelas. (Pendapat Ibn Hazm, Ibnul
Qayyim, dll. Sebagaimana dalam Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul ‘Azhim Al-Khalafi 138)
Apabila
terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan
diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti
pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80
atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para
imam dan ulama yang layak berijtihad. (Majmu' Fatawa wa Rasail Syaikh Utsaimin 15/265)
Seorang
musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan
kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Kitab Al-Wajiz, Abdul ‘Azhim al-Khalafi)
Berkata
Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah
keluar (meninggalkan) kota Madinah.
Berkata
Anas: Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di
kota Madinah empat raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua
raka'at" (HR. Bukhari dan Muslim)
Sampai Kapan Musafir Dibolehkan Men-qashar?
Para
ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang
dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas)
shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam
empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah berpendapat
bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin
Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat
bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia
mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada
di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun
yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam
masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan
dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Jabir
meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tinggal di Tabuk selama dua puluh hari men-qashar shalat. (HR. Ahmad
dengan sanad shahih)
Ibnu
Abbas meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tinggal di Makkah selama sembilan belas hari meng-qashar shalat. (HR.
Bukhari)

Dari
dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya
meng-qashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai
niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk
menetap di daerahperantauan tersebut. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin dan Irwa’ul Ghalil Syaikh Al-Albani)
Shalat Tathawwu, Nafilah, atau Shalat Sunnah bagi Musafir
Jumhur
ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh
shalat nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik
nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun
yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah shalat delapan
raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau
dalam keadaan safar. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagian
ulama berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak
mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika
safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar bahwasanya beliau
melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai
shalat fardhu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku shalat
sunnah rawatib setelah shalat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan
shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku
menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar dan beliau
tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku
menemani Abu Bakar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at
sampai wafat, kemudian aku menemani Umar dan beliau tidak pernah
menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman dan
beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah
subhaanahu wa ta'ala telah berfirman : “Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu” (QS. Al-Ahzaab:
21) (HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)
Adapun
shalat-shalat sunnah/nafilah/tathawwu' lainnya seperti shalat malam,
witir, sunnah fajar, dhuha, shalat yang ada sebab –sunnah wudhu dan
tahiyyatul masjid- dan tathawwu muthlak adalah tidak mengapa dilakukan
dan bahkan tetap di syari'atkan berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal
ini. (Kitab As-Shalah, Abdullah Ath-Thayyar)
Jama’
Menjama'
shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Zhuhur dan Ashar atau
Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh
seseorang melakukan jama' taqdim dan jama'ta'khir.
Jama'
taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu
shalat pertama, yaitu; Zhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Zhuhur,
Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus
dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh
terbalik.
Adapun
jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam
waktu shalat kedua, yaitu; zhuhur dan ashar dikerjakan dalam waktu
ashar, Maghrib dan 'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir
boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan
tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177)
Menjama'
shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik
musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur,
jadi dilakukan ketika diperlukan saja.
Termasuk
udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah musafir
ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan,
turunnya hujan, dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi 139-141)
Berkata
Imam Nawawi: “Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang
mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di
jadikan sebagai kebiasaan." (Syarh Muslim, Imam Nawawi 5/219)
Dari
Ibnu Abbas berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menjama antara zhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di
Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab
takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas beliau
menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin
memberatkan ummatnya. (Shahihul Jami’ 1070)
Menjama’ Jum’at dengan Ashar
Tidak
diperbolehkan menjama' (menggabung) antara shalat Jum'at dan shalat
Ashar dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau
ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan
menjama' antara zhuhur dan ashar.
Hal
ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan
Ashar, dan yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara
Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan zhuhur karena
sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan
dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan
dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada
satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat perkara
baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak
berdasar) maka tertolak. (HR. Bukhari 2697 dan Muslim 1718)
Dalam
riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak. (HR.
Muslim)
Jadi
kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya
masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’
(menggabungnya) dengan shalat lain. (Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378)
Jama’ Sekaligus Qashar
Tidak
ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar
shalat dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah
menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah
mengqashar saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji
wada', yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama, (lihat dalam
Shifat Haji Nabi, karya Syaikh Al-Albani) dan beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah melakukan jama'sekaligus qashar pada waktu perang
Tabuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu melakukan jama'
sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan
(Pendapat Syaikh Bin Baz dan ulama lain, lihat Kitab As-Shalah, Abdullah
At-Thayyar). Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedikit
sekali menjama' shalatnya karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
melakukannya ketika diperlukan saja. (Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308)
Musafir Shalat di Belakang Imam yang Mukim
Shalat
berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila
seorang musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti
shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat
bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka'at). Hal ini di
dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas. Berkata Musa bin Salamah:
Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku
bertanya: Kami melakukan shalat empat raka'at apabila bersama kamu
(penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama
musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas menjawab: Itu adalah
sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi
wasallam)Ӭ (HR. Ahmad dengan sanad shahih, lihat Irwa'ul Ghalil no 571)
Musafir Menjadi Imam bagi yang Mukim
Apabila
musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar
shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka
sampai selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan
hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat
qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka
sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari
dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk
Mekkah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sempurnakanlah
shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah
musafir.” (HR. Abu Daud)
Beliau
shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan
mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam. (Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269)
Apabila
imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia
shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena
hukum qashar adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al- Bassam 2/294-295)
Shalat Jum’at bagi Musafir
Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi usafir, namun
apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat
Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat um'at bersama mereka.
Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu
Tsaur, dll. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370)
Dalilnya
adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam apabila
safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji
Wada' Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melaksanakan shalat
Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung)
dengan Ashar. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah)
dan para sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhuma serta orang-orang yang
setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan
zhuhur.
Dari
Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal
bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar
shalat dan tidak shalat Jum'at"
Sahabat Anas tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum'at.
Ibnul
Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan
para ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak
di perbolehkan menyelisihinya. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.)
Wallahu A'lam.
(Tulisan Abdullah Shaleh Al-Hadrami, disadur dari almanhaj.or.id, diedit ulang oleh Jundullah Abdurrahman Askarillah)